ARTICLE AD BOX
Liputan6.com, Jakarta Musim lalu, Manchester City menutup perjalanan dengan nihil trofi untuk kedua kalinya di era Pep Guardiola. Kondisi itu dianggap hanya sebagai "gangguan kecil" setelah mereka mendominasi enam dari tujuh musim sebelumnya.
Namun, ekspektasi berubah setelah City menggelontorkan dana sekitar £330 juta, atau setara Rp7 triliun lebih, di bursa transfer Januari dan musim panas. Publik berharap mereka kembali segar, siap, dan berambisi merebut tahta Premier League.
Sayangnya, tanda-tanda kebangkitan itu belum terlihat jelas. Kekalahan 1-2 dari Brighton membuat City mencatat start terburuk sejak musim 2004-2005.
Konsistensi yang Masih Hilang
Guardiola membangun tim-tim terbaiknya dengan kontrol, pola permainan rapi, dan serangan mematikan. Kemenangan 4-0 atas Wolves di pekan perdana seolah menjadi isyarat masalah musim lalu sudah berakhir.
Namun, kekalahan dari Brighton memperlihatkan inkonsistensi yang kembali menghantui City, padahal mereka sempat unggul lebih dulu lewat gol Erling Haaland di laga ke-100-nya di Premier League.
Perubahan besar dilakukan Brighton saat Fabian Hurzeler memasukkan empat pemain sekaligus pada menit ke-60. Dari situ, City kehilangan kendali dan kebobolan dua gol di babak kedua.
"Kami kebobolan dua gol. Kami tampil luar biasa selama satu jam," ujar Guardiola kepada BBC Sport. "Setelah gol itu kami lupa cara bermain. Kami terlalu memikirkan konsekuensi."
Start Buruk yang Membebani Mental
Kekalahan beruntun dari Tottenham (0-2) dan Brighton (1-2) menjadi peringatan serius bagi City. Statistik menunjukkan hanya Manchester United pada musim 1992-1993 yang bisa bangkit setelah kalah dua dari tiga laga awal, itu pun di musim 42 pertandingan.
Situasi ini belum pernah dihadapi Guardiola sebelumnya. Dia selalu identik dengan tim yang stabil, bahkan saat tekanan datang dari berbagai arah.
Mantan kiper Chelsea, Mark Schwarzer, menilai kondisi ini berbeda dari biasanya. "Ada banyak pertanyaan tentang tim ini dan Guardiola. Apakah dia bisa membalikkan keadaan?" katanya.
Mental pemain kini diuji sejak awal musim. Jika City gagal menemukan jawaban, jarak dengan pesaing bisa semakin melebar.
Masalah Pressing Tinggi
Salah satu sumber masalah terbesar City adalah pressing tinggi yang kini justru menjadi bumerang. Dalam dua laga terakhir, pola ini membuat lini belakang terekspos di sisi sayap.
Saat lawan membangun serangan dari belakang, full-back City diminta menekan hingga ke area jauh. Hal ini memaksa bek tengah menutup ruang sayap yang ditinggalkan, area yang bukan keunggulan mereka.
Contohnya terlihat ketika Nathan Ake melawan Spurs dan Rico Lewis saat menghadapi Brighton. Kedua situasi itu membuat City meninggalkan celah di lini belakang.
Kondisi ini dimanfaatkan lawan dengan mudah untuk mengalirkan bola ke ruang kosong. Dari sana, serangan berbahaya lahir dan berujung gol ke gawang City.
Jalan Panjang Musim Ini
Guardiola mencoba meredam kepanikan dengan menekankan bahwa musim masih panjang. "Ini baru satu pertandingan. Musim masih panjang, kita akan lihat apa yang terjadi," ucapnya.
Namun, awal buruk tetap meninggalkan beban besar. City bukan hanya harus mengejar ketertinggalan poin, tetapi juga membenahi kelemahan struktural dalam permainan mereka.
Kembalinya Rodri dan keberadaan Haaland belum cukup untuk menutupi masalah di sisi taktik. City harus mencari solusi agar pressing mereka tidak terus menjadi celah.
Jika tidak segera dibenahi, dua kekalahan beruntun ini bisa menjadi awal dari krisis lebih dalam. Jika itu terjadi, maka pertanyaan "ada apa dengan City?" mungkin akan lebih sulit dijawab seiring berjalannya musim.
Sumber: BBC Sport