ARTICLE AD BOX

GELOMBANG pergantian pimpinan di tubuh maskapai pelat merah saat ini dinilai kembali memantulkan bayangan krisis tata kelola yang sistemik. Peristiwa pergantian direktur utama yang terjadi pada periode singkat dipandang sebagai gejala kronis dari lingkungan bisnis yang tak stabil.
"Fenomena ini menjadi semakin kompleks ketika dihadapkan pada lanskap industri penerbangan global yang sedang berjuang pulih pascapandemi," kata pengamat penerbangan Hendra Soemanto, Jumat (17/10).
Menurut dia, di tengah maskapai-maskapai internasional yang berfokus pada konsolidasi dan efisiensi operasional jangka panjang, adanya ketidakstabilan internal pada maskapai pelat merah membuat proses pemulihan dan transformasi jadi terhambat serta menciptakan kerentanan di tengah persaingan yang kian ketat.
"Dari perspektif manajemen strategis, diskontinuitas kepemimpinan ini memicu suatu yang berbahaya. Pada satu sisi, tekanan untuk beradaptasi dengan dinamika pasar global seperti permintaan yang berubah, transisi keberlanjutan, dan disrupsi digital, menuntut visi strategis konsisten serta berjangka waktu menengah hingga panjang," ungkap kandidat Doktor Manajemen Stratrategis Universitas Mercu Buana (UMB) tersebut.
Ia memaparkan siklus kepemimpinan yang pendek secara intrinsik memutus rantai implementasi strategi perusahaan. Setiap perubahan kepemimpinan juga membawa perubahan dan peninjauan ulang strategis yang berjalan.
Akibatnya, organisasi terjebak dalam siklus dari nol, menghamburkan sumber daya dan melemahkan kapasitas yang ada. Dalam industri dinamis seperti penerbangan, ketidakmampuan menjalankan rencana dengan utuh dapat bisa fatal pada daya saing dan keberlangsungan usaha."
"Diskontinuitas strategi akibat pergantian kepemimpinan yang terlalu sering juga mengganggu eksekusi rencana bisnis jangka panjang, dan maskapai sulit mengejar ketertinggalan standar operasional maskapai kelas dunia lainnya," terang Hendra.
AKAR PERSOALAN
Ia menegaskan akar persoalan itu terletak pada prinsip tata kelola perusahaan. Prinsip transparansi, akuntabilitas, dan independensi sering tergerus kepentingan yang tidak sejalan dengan nilai perusahaan.
"Kurangnya transparansi misalnya, tidak hanya merusak kepercayaan investor domestik dan asing, tapi juga mengikis moral dan loyalitas karyawan. Inovasi dan komitmen jangka panjang dari dalam organisasi sulit tumbuh," terang dia.
Imbasnya, kata Hendra, upaya mengejar ketertinggalan dari standar tata kelola dan operasional maskapai kelas dunia menjadi mimpi yang semakin jauh dari kenyataan.
Karena itu, ia berharap ada langkah strategis saat ini yang melampaui sekadar perbaikan pada level personalia. Pemerintah perlu konsisten menerapkan kontrak kinerja transparan dan realistis, serta memberikan ruang yang cukup bagi eksekusi strategi dan membangun hubungan baik birokrasi dan politis dengan prinsip komersial perusahaan.
"Memperkuat fungsi dewan pengawas dengan independensi dan kewenangan nyata juga krusial agar check and balance berjalan efektif," katanya.
Ia menambahkan dengan fondasi tata kelola sehat dan kepemimpinan yang konsisten, maskapai pelat merah bisa berbenah diri dan tetap bertahan di tengah turbulensi ekonomi global.
DIREKSI GARUDA
Sebagai informasi, Glenny H Kairupan resmi menjabat Dirut PT Garuda Indonesia, menggantikan Wamildan Tsani Panjaitan, yang diputuskan pada Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Garuda Indonesia, di Jakarta, Rabu (15/10).
RUPSLB itu dihadiri pemegang saham yang mewakili 68.652.324.331 lembar saham, atau sebesar 75,04% dari total keseluruhan saham dengan hak suara, dan digelar untuk membahas dan memutuskan agenda tunggal, yakni perubahan susunan pengurus perseroan. (E-2)