ARTICLE AD BOX

FORUM Guru Besar Insan Cita menyoroti keras kondisi bangsa Indonesia di usia ke-80 yang dinilai masih dibayangi kesenjangan sosial, lemahnya birokrasi, dan kerapuhan penegakan hukum. Jika persoalan mendasar ini tidak segera diatasi, ancaman terhadap persatuan bangsa akan semakin nyata.
Inisiator Forum Guru Besar Insan Cita Didik J. Rachbini menyatakan, peluang Indonesia menjadi negara maju memang besar, tetapi tantangannya tidak kalah besar. "Salah satu masalah krusial bangsa ini adalah realitas masih tingginya tingkat kesenjangan yang ada dalam masyarakat. Sangat ironis, 50% pendapatan negara masih dinikmati oleh penduduk terkaya," ujarnya seperti dikutip pada Selasa (2/9).
Ia menekankan, ketimpangan pendapatan membuat indeks kesengsaraan rakyat membesar. Pertumbuhan ekonomi dinilai tidak merata karena hanya terdistribusi pada kelompok tertentu. "Kesenjangan sosial antara Jawa dan luar Jawa, antara kota dan desa, belum bisa dikurangi secara signifikan. Bahkan praktik otonomi daerah belum mampu mengurangi kesenjangan tersebut," kata Didik.
Menurutnya, membangun Indonesia dari desa dan daerah masih sebatas jargon. Desa belum menjadi pusat ekonomi baru, sementara program pemerintah belum sepenuhnya terasa di masyarakat. Kondisi ini dikhawatirkan menimbulkan dampak serius pada stabilitas politik dan keamanan nasional.
Didik menambahkan, ancaman serius terhadap keberlangsungan NKRI tak hanya datang dari luar, tapi juga kegagalan Indonesia dalam memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat. Karenanya, ia mengingatkan, pemerintah harus menunjukkan kesungguhan dengan menghadirkan program yang benar-benar memihak rakyat, bukan sekadar janji.
Forum itu juga mengkritik lambannya reformasi sistem, penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi. Menurut Didik, praktik monopoli dan kongkalikong antara pejabat dan pengusaha masih menjadi penghambat utama tercapainya tujuan negara. "Tujuan untuk menciptakan masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur tersandera oleh kuatnya praktik monopoli," terangnya.
Kualitas Birokrasi
Lebih jauh, ia menyoroti kualitas birokrasi yang dianggap jauh dari harapan. Birokrasi, kata dia, seharusnya berkelas dunia, transparan, akuntabel, dan tidak partisan. "Kementerian dan lembaga harus dipimpin orang-orang yang memiliki integritas dan kapasitas. Bukan orang-orang yang integritasnya dipertanyakan," tambah Didik.
Kelemahan birokrasi dan lemahnya penegakan hukum, menurut Forum Guru Besar, menjadi salah satu pemicu aksi massa besar-besaran sejak 25 Agustus 2025. Aksi itu, yang terjadi di berbagai kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, hingga Makassar, dinilai sebagai akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap kinerja eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
"Amuk massa yang berlangsung sejak 25 Agustus adalah refleksi akumulasi ketidakpuasan masyarakat. Rakyat sudah muak dengan perilaku para elite yang dinilai tidak punya keberpihakan," tutur Didik.
Ia menambahkan, momentum itu seharusnya dimanfaatkan Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan perbaikan segera.
Hentikan Kekerasan
Sementara itu, inisiator lain, Siti Zuhro menekankan pentingnya langkah cepat melalui delapan solusi jangka pendek. "Yang paling mendesak adalah menghentikan kekerasan sekarang juga, baik yang dilakukan aparat maupun demonstran, dengan penegakan hukum yang adil dan transparan," ujarnya.
Forum itu juga mendorong reformasi menyeluruh di tubuh Polri, pergantian pimpinan Polri, serta penataan ulang kabinet. Menteri atau wakil menteri yang dianggap tidak kompeten dan tidak dipercaya publik, menurut mereka, harus segera digantikan.
Selain itu, Zuhro menyoroti perlunya percepatan pengesahan UU Perampasan Aset Koruptor, pengembalian KPK sebagai lembaga independen, hingga pencabutan UU Cipta Kerja. "Pemerintah juga harus menata ulang program Makan Bergizi Gratis agar lebih tepat sasaran, terutama di daerah 3T dan basis stunting" kata dia.
Forum Guru Besar juga menyodorkan delapan langkah jangka menengah. Di antaranya, Presiden diminta memimpin langsung gerakan pemberantasan korupsi, melakukan evaluasi terhadap undang-undang yang membebani rakyat, hingga memperkuat birokrasi agar benar-benar efektif dan dipercaya publik.
Mereka juga menekankan pentingnya memastikan bonus demografi tidak berubah menjadi bencana, memperkuat reformasi politik, serta menjaga agar praktik demokrasi tetap sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Didik menambahkan, pemerintah perlu mengevaluasi rencana pendirian perguruan tinggi baru dan fokus meningkatkan kualitas perguruan tinggi yang sudah ada. (Mir/M-3)