ARTICLE AD BOX

KETUA Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan Maulid Nabi Muhammad SAW menjadi momentum penting bagi umat Islam untuk meneguhkan cinta sekaligus meneladani ajaran dan akhlak Rasulullah.
Haedar berpesan supaya para pemimpin bangsa, baik tokoh agama, tokoh masyarakat, maupun pejabat publik, seharusnya bercermin pada keteladanan Nabi Muhammad. Rasulullah mengajarkan bahwa kepemimpinan bukanlah alat untuk meneguhkan kepentingan pribadi atau golongan, tetapi amanah untuk menghadirkan maslahat, keadilan, dan persatuan.
“Ketika pemimpin mengedepankan perdamaian, menumbuhkan kepercayaan, dan merangkul semua pihak, maka bangsa ini akan semakin kokoh,”tegas Haedar dalam siaran pers, Sabtu (6/8).
Refleksi Maulid Nabi semestinya mendorong kita semua untuk meneguhkan jiwa damai dan menyatukan umat. Umat Islam, khususnya, hendaknya menjadikan teladan Rasulullah sebagai pedoman untuk menghindari polarisasi dan konflik. Kita tidak boleh larut dalam permusuhan yang melelahkan, melainkan harus menghadirkan wajah Islam yang rahmatan lil-‘alamin, yang penuh kasih sayang, menentramkan, dan menyatukan.
“Jadikan Maulid Nabi Muhammad SAW sebagai momentum untuk memperkuat persaudaraan, menghadirkan perdamaian, dan membangun peradaban yang luhur," ungkap dia. Dengan semangat Nabi yang menyatukan, kita bisa menghadapi tantangan kebangsaan dengan arif, sekaligus meneguhkan Indonesia sebagai rumah bersama yang damai, adil, dan bermartabat.
Dalam sejarah hidup beliau, kata Haedar, kita mendapati sosok Nabi bukan hanya sebagai rasul pembawa wahyu, tetapi juga sebagai pribadi yang menghadirkan perdamaian, persaudaraan, dan persatuan di tengah masyarakat yang penuh konflik.
Dalam banyak peristiwa lain sepanjang perjalanan dakwahnya, Haedar mengatakan Rasulullah selalu menegakkan nilai perdamaian di atas pertimbangan ego pribadi maupun kepentingan kelompok.
“Piagam Madinah menjadi bukti nyata, bagaimana beliau membangun tatanan sosial-politik yang adil dan damai. Nabi tidak membangun peradaban dengan permusuhan, melainkan dengan perjanjian, pengakuan hak, dan penghargaan terhadap keberagaman,”jelas Haedar.
Perjanjian Hudaibiyah merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang mengandung banyak hikmah. Pada pandangan pertama, isi perjanjian itu tampak merugikan kaum Muslimin.
Nabi dan para sahabat yang berniat suci menunaikan umrah harus menahan diri dan kembali ke Madinah tanpa memasuki Makkah. Namun, Nabi menerimanya dengan penuh kebijaksanaan.
“Beliau lebih memilih jalan damai ketimbang mengikuti emosi sesaat dan situasi konflik. Kesabaran Nabi saat itu mengajarkan bahwa perdamaian bukanlah tanda kelemahan, melainkan strategi mulia yang membuka jalan kemenangan lebih besar,”ungkap Haedar.
Perdamaian adalah kekuatan moral. Rasulullah SAW menunjukkan bahwa kekuatan sejati seorang pemimpin bukan terletak pada keberanian berperang, tetapi pada kemampuan menahan diri, memilih dialog, dan meneguhkan kedamaian. Allah berfirman:
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah.” (QS. Al-Anfal [8]: 61)
“Perjanjian Hudaibiyah adalah bukti nyata bahwa manfaat terbesar lahir dari pilihan damai, bukan dari pertikaian,”tegas Haedar.
Keputusan Nabi menerima perjanjian itu terbukti membawa dampak besar. Perdamaian membuka jalan dakwah Islam yang lebih luas, hingga akhirnya kaum Quraisy masuk Islam secara berbondong-bondong. Perjanjian Hudaibiyah mengajarkan bahwa menahan diri dari konflik lebih bermanfaat daripada memperturutkan emosi permusuhan.
Peristiwa lain yang perlu menjadi perenungan dari teladan Nabi Muhammad yakni ketika masyarakat Quraisy berselisih tentang siapa yang berhak meletakkan kembali Hajar Aswad pada tempatnya setelah renovasi Ka‘bah.
Perselisihan itu hampir menimbulkan pertumpahan darah antarsuku Arab yang merasa memiliki kehormatan lebih tinggi. Namun, dengan kebijaksanaan dan kearifan, Nabi Muhammad menawarkan solusi sederhana: batu suci itu diletakkan di atas bentangan kain, lalu setiap pemimpin suku bersama-sama mengangkatnya.
Beliau sendiri yang akhirnya meletakkan Hajar Aswad di tempatnya. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana Rasulullah menjadi sosok penengah yang mampu meredam konflik, menghadirkan rasa keadilan, dan menyatukan hati banyak pihak.
“Nilai besar dari teladan Rasulullah tersebut sesungguhnya sangat relevan untuk kehidupan kita saat ini. Indonesia sebagai bangsa yang majemuk sering kali dihadapkan pada ketegangan politik, pertarungan kepentingan, dan godaan sektarianisme. Dalam dinamika sosial dan politik kita, masih sering kita saksikan bagaimana perbedaan justru dipertajam menjadi alasan untuk saling merendahkan, bahkan memecah belah,”jelas Haedar. (H-2)