ARTICLE AD BOX

MAHKAMAH Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Pasal 110A ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Meskipun menolak permohonan tersebut, MK menegaskan bahwa pemerintah harus segera menyelesaikan penataan kawasan hutan dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang memiliki kegiatan usaha di dalamnya.
“Agar sejalan dengan maksud pencegahan dan pemberantasan kerusakan hutan yang merupakan salah satu bentuk pengejawantahan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dalam rangka pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, pemerintah perlu segera menuntaskan penataan kawasan hutan,” ujar hakim konstitusi Enny Nurbaningsih dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (16/10).
MK menyoroti pentingnya penataan kawasan hutan secara komprehensif antara pemerintah pusat dan daerah. Enny menyebut, banyak kasus pelanggaran kehutanan terjadi karena tumpang tindih tata ruang dan perizinan.
“Kondisi ini tidak dapat dilepaskan dari adanya ketidakharmonisan antara pemerintah pusat dan daerah dalam penataan ruang. Pemerintah harus segera menyelesaikan penataan kawasan hutan secara menyeluruh guna mencegah kerusakan hutan dan memberikan kepastian hukum,” tutur Enny.
Dalam putusan Nomor 147/PUU-XXII/2024 tersebut, Mahkamah juga mengingatkan pemerintah agar segera melakukan inventarisasi, pendataan yang valid, serta pemetaan kawasan hutan secara komprehensif untuk menghindari tumpang tindih lahan dan ketidakpastian hukum.
PERLINDUNGAN HUKUM
Sementara itu, dalam Putusan Nomor 181/PUU-XXII/2024 terkait pengujian UU Cipta Kerja, MK mengabulkan sebagian permohonan dan menegaskan bahwa masyarakat adat yang hidup secara turun-temurun di dalam kawasan hutan harus mendapat perlindungan hukum untuk tetap dapat berkebun tanpa ancaman sanksi.
MK memutuskan bahwa larangan melakukan kegiatan perkebunan di kawasan hutan tanpa izin dari pemerintah pusat tidak berlaku bagi masyarakat adat selama kegiatan tersebut tidak bersifat komersial.
“Ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf b dalam Pasal 37 angka 5 Lampiran UU 6/2023 yang mengatur larangan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha dari pemerintah pusat, tidak berlaku bagi masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial,” ujar Enny saat membacakan putusan.
Menurut Enny, Mahkamah menilai bahwa kegiatan perkebunan masyarakat adat yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak dapat diperlakukan sama dengan aktivitas usaha komersial.
“Kegiatan masyarakat dalam hutan yang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan tidak untuk diperdagangkan dengan imbalan keuntungan, tidak dapat dikenakan sanksi sebagaimana ketentuan dalam Pasal 110B ayat (1) UU Cipta Kerja,” jelasnya.
Mahkamah juga menegaskan bahwa masyarakat adat yang hidup turun-temurun di dalam hutan tidak perlu memperoleh perizinan berusaha, karena izin tersebut diperuntukkan bagi pelaku usaha yang mencari keuntungan ekonomi.
“Sepanjang kegiatan perkebunan dilakukan untuk kebutuhan hidup dan bukan kepentingan komersial, tidak ada kewajiban untuk memperoleh izin usaha dari pemerintah pusat,” tegas Enny. (Dev/P-2)