ARTICLE AD BOX

KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai proses dan substansi Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) masih menyimpan banyak persoalan, mulai dari minimnya partisipasi publik hingga potensi pelanggaran terhadap kebebasan sipil di ruang digital.
Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah menyatakan bahwa pihaknya memberi perhatian serius terhadap RUU KKS karena berpotensi berdampak langsung pada penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak digital warga negara dan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) secara umum.
“RUU Keamanan dan Ketahanan Siber harus menghormati prinsip-prinsip HAM, baik dalam proses pembentukannya maupun dalam substansi pasal-pasalnya,” ujar Anis dalam keterangan resmi, Jumat (17/10).
Menurutnya, Komnas HAM telah melakukan serangkaian analisis, diskusi ahli, serta pelibatan publik untuk memberikan masukan terhadap draf RUU KKS dan naskah akademiknya. Akan tetapi, lanjut Anis, pembahasan RUU ini belum memenuhi prinsip partisipasi publik yang bermakna.
“RUU ini disusun tanpa mekanisme konsultasi yang terbuka dengan pemangku kepentingan utama, seperti masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga independen negara. Ini bertentangan dengan asas keterbukaan dan akuntabilitas publik,” tegas Anis.
ANCAMAN KEBEBASAN SIPIL
Komnas HAM juga menyoroti beberapa ketentuan dalam RUU KKS yang membuka ruang bagi pelibatan militer dalam ranah sipil, termasuk kewenangan penyidikan oleh penyidik TNI terhadap kasus siber.
“Ruang siber adalah domain sipil. Pelibatan militer di luar fungsi pertahanan negara berisiko melahirkan penyalahgunaan kekuasaan dan bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dalam Pasal 30 ayat (5) UUD 1945,” jelas Anis.
Selain itu, Komnas HAM menilai definisi ancaman siber dalam RUU KKS masih kabur dan terlalu luas, sehingga dapat digunakan untuk membenarkan pembatasan akses internet, pemblokiran konten, atau pelacakan aktivitas warga tanpa mekanisme pengawasan yudisial.
“Definisi yang ambigu ini bertentangan dengan prinsip proporsionalitas dan legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR),” tambahnya.
RUU KKS juga dinilai tidak menyediakan mekanisme pengawasan independen terhadap pelaksanaan kebijakan keamanan siber. Seluruh kewenangan justru diberikan kepada lembaga pemerintah tanpa kontrol eksternal yang memadai.
Komnas HAM mengingatkan, hal ini berpotensi melahirkan praktik pengawasan negara tanpa mekanisme koreksi publik. “RUU ini berisiko menciptakan negara yang terlalu kuat dalam mengawasi ruang digital warga, tanpa lembaga pengawas independen,” ujar Anis.
POTENSI TUMPANG TINDIH
Komnas HAM menemukan bahwa banyak materi dalam RUU KKS sebenarnya telah diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Perlindungan Data Pribadi (PDP), serta UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sehingga diperlukan harmonisasi agar tidak terjadi tumpang tindih dan konflik norma.
Komnas HAM juga mengkritisi pasal-pasal dalam RUU KKS yang memberi kewenangan luas kepada pemerintah untuk memutus atau memperlambat akses internet.
Anis menilai ketentuan ini dapat digunakan untuk membenarkan tindakan serupa dengan yang terjadi di Papua tahun 2019, yang telah dinyatakan melanggar hukum oleh Mahkamah Agung.
“RUU ini justru berpotensi memberikan dasar hukum baru bagi tindakan pemutusan akses internet, yang jelas-jelas melanggar hak atas informasi dan kebebasan berekspresi,” katanya.
Berdasarkan temuan tersebut, Komnas HAM merekomendasikan agar pembahasan RUU KKS ditunda hingga dilakukan kajian mendalam dan pelibatan publik yang transparan serta berbasis HAM.
“Kami meminta pembentuk undang-undang untuk meninjau ulang seluruh substansi RUU KKS agar selaras dengan UUD 1945 dan instrumen HAM internasional,” tegas Anis.
Komnas HAM juga mendorong agar kewenangan militer dihapus dari ranah sipil, khususnya dalam penyidikan tindak pidana siber, serta menambahkan mekanisme pengawasan independen dan yudisial guna menjamin akuntabilitas kebijakan digital. “Keamanan digital harus dipahami sebagai bagian dari perlindungan HAM, bukan alat kontrol negara,” pungkasnya. (Dev/P-2)