ARTICLE AD BOX

PAKAR Hukum Tata Negara Universitas Airlangga, Haidar Adam, menilai bahwa model Omnibus Law tidak tepat diterapkan dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Menurutnya, pendekatan ini justru berisiko melemahkan transparansi, mengurangi partisipasi publik, dan menyulitkan pengawasan terhadap substansi undang-undang (UU).
“Model omnibus ini tidak cocok diterapkan dalam pembuatan regulasi di Indonesia,” ujar Haidar saat dikonfirmasi, Jumat (17/10).
Haidar menilai, penyusunan undang-undang dengan model omnibus merupakan bentuk ’keranjang sampah’ karena menggabungkan berbagai substansi dari undang-undang lain ke dalam satu regulasi besar yang tidak dikenal dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
“Model omnibus ini membuat publik kehilangan kemampuan untuk mengawasi. Akibatnya, banyak hak konstitusional masyarakat yang terdampak tanpa mereka sadari,” ujarnya.
Ia menjelaskan jikapun penyusunan UU dengan pendekatan omnibus dipaksakan oleh pengambil kebijakan, seharusnya dilakukan secara hati-hati dan berbasis kajian yang mendalam, serta menjamin keterlibatan masyarakat sebagai bagian dari akuntabilitas.
“Jika memang akan digunakan, seharusnya ada kajian yang komprehensif dan matang dengan melibatkan pihak-pihak yang terdampak agar memenuhi prinsip partisipasi yang bermakna,” tegasnya.
Haidar mengingatkan, penyusunan undang-undang secara tergesa-gesa seperti yang terjadi dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja (Ciptaker) memperlihatkan kelemahan serius dalam penerapan model omnibus dan menyulitkan publik untuk memahami isi undang-undang.
“Jika penyusunan dilakukan secara tergesa-gesa, tentu saja model omnibus ini sangat tidak bisa diterima. Jangankan publik yang awam, kalangan hukum sekalipun kesulitan membaca dan memahami sistematika serta substansi yang diatur dalam UU Ciptaker,” ujarnya.
Untuk mencegah persoalan produk legislasi serupa, Haidar menekankan perlunya pembenahan dalam dua aspek utama yaitu prosedur dan substansi agar undang-undang yang dihasilkan tidak terus digugat ke MK.
“Dari sisi prosedur, RUU yang dirancang harus benar-benar melibatkan partisipasi masyarakat secara esensial, bukan hanya formalitas,” katanya.
Ia menegaskan bahwa masyarakat harus diberi akses penuh untuk memahami rencana penyusunan, menyampaikan pendapat, dan mendapatkan penjelasan atas setiap rumusan norma serta dampaknya.
Sementara dari sisi substansi, Haidar meminta agar hanya orang-orang yang kompeten dan berintegritas dilibatkan dalam penyusunan undang-undang.
“Para penyusun harus memiliki rekam jejak kepakaran yang bisa dipertanggungjawabkan, dan integritas yang kuat agar tidak mudah diintervensi oleh kepentingan kelompok tertentu,” pungkasnya. (H-2)