ARTICLE AD BOX

HAMPIR 30 tahun silam, kisah ini terjadi. Pada sore hari pukul 17.00 WIB di tahun 1996, sebuah truk melintasi jalanan Kawunganten, Cilacap, Jawa Tengah.
Di atas bak truk itu, duduk seorang anak kecil bernama Muhammad Jamaluddin yang biasa dipanggil Jamal. Ia masih berusia sekitar empat tahun. Bersama ibunya Rodiah, ia datang dari jauh, Karawang, Jawa Barat.
Tujuan mereka adalah menyusul sang ayah, Raman. Raman menetap di Dusun Bondan, Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, sebuah kawasan terpencil di tengah hutan mangrove.
Perjalanan mereka tidak mudah. Setelah turun dari truk, Jamal kecil dan ibunya harus menempuh perjalanan kaki selama empat jam. Jalan setapak yang sempit, rimbunnya pepohonan, dan suara hewan liar menjadi saksi perjalanan panjang menuju Dusun Bondan.
Dusun Bondan termasuk daerah 3T atau tertinggal, terluas, dan terdepan. Dusun itu hanya bisa ditempuh dengan menggunakan perahu kecil melalui perairan Segara Anakan. Jika dari Dermaga Sleko di Kota Cilacap, maka membutuhkan waktu sekitar dua jam. Sedangkan dari Desa Grugu, Kawunganten, memerlukan waktu sekitar setengah jam.
Ketika sampai, suasana pertemuan dengan Raman begitu haru. Apalagi, lelaki tersebut telah lama tidak pulang ke Karawang. Di tengah pelukan keluarga yang lama terpisah, ibu dan anak itu menetapkan pilihan yang tidak mudah, menetap di Dusun Bondan, sebuah kampung terpencil yang kala itu nyaris terputus dari peradaban. Tanpa listrik, tak ada sekolah, dengan jalanan sempit serta hanya bisa diakses dengan perahu kecil.
Kehadiran Jamal kecil justru menjadi pemantik bagi warga untuk berpikir tentang masa depan pendidikan anak-anak di dusun itu. Raman bersama warga sepakat mendirikan sekolah darurat. “Saya masih ingat, sekolah pertama kami adalah gubuk milik ayah saya. Dari situlah muncul istilah pagubukan, tempat belajar sederhana untuk anak-anak Dusun Bondan,” ungkap Jamal ketika berbincang dengan Media Indonesia pada Jumat (17/10).
Malam hari di Bondan kala itu identik dengan kegelapan. Warga hanya mengandalkan lampu sentir berbahan bakar minyak tanah. Bila persediaan minyak habis, malam menjadi gulita total. “Kalau hujan turun, suasananya benar-benar sepi mencekam. Hanya radio kecil yang menemani,” ujar Jamal mengenang masa kecilnya.
Sebagian warga menarik kabel listrik dari Desa Grugu, Kawunganten, yang jaraknya sekitar 5 kilometer (km) untuk bisa menghidupkan lampu melewati sela-sela hutan mangrove dan tanah-tanah timbul. Tetapi, karena aliran kabel dengan jarak jauh, maka tegangannya naik turun dan sering bermasalah.
Sehingga kebanyakan warga masih tetap memanfaatkan lampu sentir. Di bawah cahaya redup sentir itulah Jamal tumbuh dengan semangat belajar yang tak pernah padam. Ia menyelesaikan sekolah dasar di kampungnya, lalu melanjutkan pendidikan di Kawunganten.
“Saya sekolah SMP sambil mondok di pesantren, lalu lanjut SMK. Waktu itu saya numpang di musala sekolah,” kata Jamal yang kini menjadi tokoh pemuda setempat.
Secercah Harapan
Setelah menamatkan pendidikan dan sempat bekerja di luar daerah, pada tahun 2017 Jamal memilih kembali ke tanah kelahirannya. Keputusan itu bukan tanpa alasan. Ia melihat secercah harapan ketika ada bantuan teknologi Hybrid Energi One Pole (HEOP), gabungan panel surya dan kincir angin yang mampu menghasilkan listrik secara mandiri.
“Peralatannya dipasang di rumah-rumah warga, bahkan bisa digunakan untuk 3 sampai 5 rumah,” jelasnya.
Berkat teknologi tersebut, sebanyak 54 rumah dan sejumlah fasilitas umum seperti musala mulai menikmati aliran listrik. Sebuah kemajuan besar bagi dusun yang dulu hanya diterangi lampu minyak tanah.
“HEOP menjadi titik awal Dusun Bondan mendapatkan penerangan,” kata Jamal.
Kemudian ada bantuan lagi, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Hybrid (PLTH) di Dusun Bondan yang terus dikembangkan. Kapasitas listrik yang awalnya hanya 6.000 watt peak (Wp) pada 2018, meningkat menjadi 12.000 Wp setahun kemudian, dan kembali bertambah hingga 16.200 Wp pada 2020.
Pemuda desa yang mendapat penghargaan local hero sebagai pengelola Desa Energi Berdikari Dusun Bondan itu merasa bersyukur karena ada bantuan pembangkit listrik alternatif. “Meski masih sangat terbatas dan tidak bisa dipakai untuk berbagai macam peralatan elektronik, namun kehadirannya sangat membantu kami,” katanya.
Listrik Desa
Jamal bersama warga dusun lainnya kemudian terus berusaha untuk mencari tahu mengapa listrik dari PLN tidak masuk ke dusunnya. Informasi yang diterimanya menyebutkan, listrik PLN belum bisa masuk karena lokasi Bondan sangat terpencil, sehingga kesulitan untuk memasang tiang-tiang listriknya.
“Saya berunding dengan sejumlah warga, kami mulai menjajaki kemungkinan listrik PLN masuk. Setelah tahu ada kesempatan, saya lapor kepada Pak Kades Ujung Alang untuk mengajukan permohonan listrik dari PLN agar bisa masuk ke Dusun Bondan,” katanya.
Akhirnya, pada 2024 lalu PLN memastikan akan menyuplai kebutuhan listrik Dusun Bondan. Aliran listriknya dari Desa Grugu di Kawunganten. “Saya bersama warga lainnya sangat bahagia. Saking senangnya, kami juga ikut serta bergotong-royong membantu pekerja PLN untuk memasang tiang-tiang yang jaraknya sekitar 5 km,” ungkapnya.
Ketua RT 02/RW 08 Dusun Bondan, Muhammad Saepuloh, menambahkan warga bergerak dengan sukarela untuk membantu para petugas PLN memasang tiang listrik dan kabel. “Karena kami bahagia, tanpa diminta warga memberikan bantuan. Kami mengerahkan perahu-perahu untuk membawa berbagai macam bahan dan peralatan, untuk memasang tiang dan kabel listrik. Ini adalah impian kami setelah puluhan tahun mendiami Dusun Bondan,” jelas Saepuloh.
Menurutnya, Dusun Bondan yang berbatasan langsung dengan Pulau Nusakambangan itu memang sangat mendambakan listrik dari PLN.
“Warga sangat menunggu, sebab suplai listrik dari daya PLTH masih belum dapat mendukung penuh kegiatan warga. Paling hanya sekitar 12 jam saja untuk menerangi dusun. Makanya, ketika PLN mulai akan memasang, warga khususnya para pemuda desa sangat antusias membantu secara sukarela,” ujarnya.
Kepala Dusun Bondan, Irawan, menambahkan bahwa listrik yang masuk ke Dusun Bondan merupakan pelaksanaan program Listrik Desa (Lisdes), yakni program pemerintah melalui PLN untuk membangun jaringan distribusi listrik ke desa-desa yang belum teraliri listrik. “Kami mengajukan tahun 2023, kemudian mulai terealisasi tahun 2024,” kata Irawan.
Irawan mengatakan warga sangat antusias dengan mengerahkan perahu-perahu untuk mengangkut tiang-tiang listrik. “Satu-satunya jalan yang paling mudah adalah lewat perairan. Kami mengerahkan perahu-perahu milik warga. Biasanya, dua perahu digandeng jadi satu, sehingga bisa mengangkut tiga tiang yang besar. Kalau yang kecil bisa lima tiang. Kemudian lokasi-lokasi tempat untuk mendirikan tiang berada di tanah tambak atau jalan setapak. Kami bisa mengangkut tiang dengan perahu karena pernah pengalaman serupa memasang tiang di sejumlah dusun di Kampung Laut. Geografisnya sama, sehingga dengan pengalaman itu jadi bisa lancar mengangkutnya,” jelasnya.
Pemasangan dan pengaliran listrik akhirnya selesai pada 2024 lalu dan warga tidak lagi meradang soal suplai energi. “Semoga dengan adanya program Lisdes ini akan meningkatkan perekonomian warga di sini. Kalau di Cilacap, sepertinya Dusun Bondan merupakan daerah paling terakhir yang teraliri listrik PLN,” ujarnya.
Tak hanya program Lisdes, PLN juga terus berusaha untuk memenuhi kebutuhan di wilayah-wilayah terpencil, salah satunya di Pulau Nusakambangan. Sejak Februari lalu, PLN menginisiasi suplai listrik melalui kabel laut dan ditargetkan rampung pada Desember 2025.
Direktur Utama PT PLN Darmawan Prasodjo dalam kunjungannya di Nusakambangan beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa ia optimistis, pemasangan kabel laut akan bisa rampung November dari target Desember. “Kami mengupayakan agar Pulau Nusakambangan menjadi lebih berdaya dan produktif di seluruh sektor,” katanya.
Sementara General Manager PLN Unit Induk Distribusi Jawa Tengah dan DIY, Bramantyo Anggun Pambudi, mengatakan bahwa saat ini beban puncak listrik di Pulau Nusakambangan mencapai 2,9 MVA. Untuk memperkuat pasokan energi di wilayah tersebut, PLN berencana memasang dua jalur kabel laut, masing-masing dengan panjang lebih dari 1.000 meter.
Menurut Bramantyo, pasokan listrik dari Pulau Jawa sejatinya sangat memadai. Namun, tantangan utama ter...