ARTICLE AD BOX
Liputan6.com, Jakarta - Selama ini, warna pink selalu identik dengan perempuan dan biru disebut sebagai warna khas laki-laki. Namun, ternyata anggapan tersebut tidak berlaku sepanjang sejarah. Di masa lalu, justru anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, tidak dibedakan berdasarkan warna pakaian.
Dilansir dari Smithsonian Magazine, sebelum warna dikaitkan dengan gender, anak-anak pada abad ke-19 umumnya mengenakan gaun putih. Hal ini berlaku untuk semua, tanpa membedakan laki-laki atau perempuan.
Bahkan, potret masa kecil Presiden Amerika Serikat ke-32, Franklin Delano Roosevelt, menjadi bukti sejarah. Pada tahun 1884, saat berusia dua tahun, dia difoto mengenakan gaun putih lengkap dengan sepatu pesta mengilap dan rambut sebahu.
Kala itu, hal tersebut dianggap wajar. Anak laki-laki biasanya memakai gaun hingga usia 6–7 tahun sebelum melalui tradisi yang disebut breeching, yaitu peralihan dari gaun ke celana pendek atau panjang.
Awal Munculnya Identitas Warna
Perubahan besar muncul di awal 1920-an, ketika dunia Barat mulai memisahkan pakaian anak berdasarkan gender. Dari sinilah muncul identitas warna, di mana pink mulai diasosiasikan dengan perempuan dan biru dengan laki-laki.
Padahal, menurut catatan Smithsonian, sebelum tren itu menguat, warna pastel lebih populer untuk bayi, dan pink maupun biru bisa dipakai siapa saja.
Lebih mengejutkan lagi, Infant’s Department edisi Juni 1918 justru menulis sebaliknya: pink untuk laki-laki dan biru untuk perempuan.
“Aturan yang diterima secara umum adalah pink untuk anak laki-laki dan biru untuk anak perempuan. Alasannya, pink lebih kuat dan tegas, cocok untuk anak laki-laki, sementara biru lebih lembut dan manis, cocok untuk anak perempuan,” tulis majalah tersebut.
Warna yang Membingungkan
Meski begitu, aturan warna tidak selalu konsisten. Pada tahun 1927, Time menerbitkan bagan panduan toko besar di Amerika terkait pakaian anak. Hasilnya membingungkan: di Boston, toko Filene’s menyarankan pink untuk anak laki-laki. Hal serupa diikuti Best & Company New York serta Marshall Field’s di Chicago. Namun, toko lain justru berkebalikan.
Menurut Jo B. Paoletti, penulis buku Pink and Blue: Telling the Boys From the Girls in America, fenomena ini muncul bukan karena aturan baku, melainkan tafsir sosial yang terus berubah.
“Warna untuk anak-anak masih netral bahkan sering terbalik hingga pertengahan abad ke-20,” jelas Paoletti.
Namun, tidak semua ahli sepakat. Psikolog Marco Del Giudice dari University of New Mexico dalam studinya tahun 2012 menemukan sebaliknya. Ia menganalisis lebih dari lima juta buku terbitan 1880–1980 dan menemukan banyak contoh standar “biru untuk anak laki-laki” dan “pink untuk anak perempuan”. Hampir tidak ada bukti sebaliknya.
“Hasil ini menunjukkan konsistensi luar biasa dalam pengkodean gender dari waktu ke waktu,” tulis Del Giudice.
Faktor Sosial dan Budaya
Terlepas dari perdebatan tersebut, baik Paoletti maupun Del Giudice sepakat bahwa aturan warna semakin kuat sepanjang abad ke-20. Hal ini mencerminkan preferensi masyarakat Amerika yang kemudian dimanfaatkan produsen pakaian.
Seiring waktu, tren pun berubah. Di era pascaperang, anak laki-laki berpakaian seperti ayahnya, sementara anak perempuan mengikuti gaya ibunya. Namun, pada 1960–1970-an, gerakan feminisme sempat mengguncang aturan ini.
“Jika kita mendandani anak perempuan lebih seperti anak laki-laki dan bukan gadis kecil dengan pita, mereka akan punya lebih banyak pilihan dan merasa lebih bebas aktif,” tulis Paoletti.
Tak heran, pada periode itu, katalog toko besar seperti Sears bahkan sempat tidak memuat baju pink untuk balita. Namun, sejak 1980-an, teknologi tes jenis kelamin bayi sebelum lahir membuat produsen gencar memasarkan produk khusus bayi perempuan dan bayi laki-laki—mulai dari pakaian, popok, hingga kereta dorong.
Tren Bergeser Lagi
Kini, tren mulai bergeser lagi. Berdasarkan survei Time, sebanyak 51 persen Generasi Z percaya ada lebih dari dua gender. Hal ini berpengaruh pada industri fashion.
Shawn Carter, pakar manajemen bisnis mode di Fashion Institute of Technology, New York City, mengatakan kepada CNN pada 2021, “Fashion mencerminkan budaya dan keyakinan politik suatu generasi.”
Ia menambahkan, “Jika peritel tradisional seperti Nordstrom dan Saks ingin bertahan, mereka harus mencerminkan sistem nilai generasi ini untuk mendapatkan loyalitas seumur hidup.”